Wednesday, August 14, 2013

Sejarah prostitusi di Jepang


Prostitusi di Jepang memiliki sejarah yang panjang dan berliku..
Selama Hukum Anti-Prostitusi pada tahun 1956 dikeluarkan dan membuat Prostitusi menjadi illegal, beberapa lubang keamanan, bermacam-macam interpretasi hukum yang berbeda dan penanganan yang tidak ketat membuat Industri Sex menjadi sukses dan mengalirkan arus dana sebesar 2,5 triliun yen setahun

Hal tersebut sama dengan 1% dari pendapatan per kapita se-Jepang dan mendekati budget pertahanan dan keamanan di Jepang.

ERA SHOGUNATE

Pada 1617, Tokugawa Shogunate mengeluarkan perintah yang membatasi prostitusi di area-area tertentu saja yang berlokasi di tepian kota . Tiga area yang paling terkenal adalah Yoshiwara di Edo (hari ini disebut Tokyo), Shinmachi di Osaka, dan Shimabara di Kyoto.

YOSHIWARA MASA LAMPAU



YOSHIWARA SAAT INI

SHINMACHI


Shinmachi Saat ini

Shimabara Kyoto

SHIMBARA KYOTO

Para penghibur diberikan gelar yujo atau “Women of Pleasure” dan diberikan tingkatan berdasarkan hierarki yang bersangkutan, Distrik ini dibatasi oleh dinding dan dijaga untuk menjaga dua hal : pajak dan akses keluar masuk . Ronin, atau samurai yang tidak bertuan tidak diizinkan masuk dan para penghibur pun dilarang keluar . Kecuali setahun sekali untuk melihat pohon sakura bersemi dan mengunjungi relasi yang telah meninggal…

ERA MEIJI

Terbukanya Jepang dan masuknya pengaruh Barat membawa beberapa perubahan. Prostitusi-prostitusi yang tidak berizin mulai bermunculan dan menimbulkan masalah baru bagi para penduduk setempat dan (tentunya) aparat keamanan

KARAYUKI SAN

Karayuki-san adalah sebutan bagi anak gadis petani atau nelayan yang pergi meninggalkan Jepang untuk bekerja di luar negeri. ‘Kara’ berarti negara luar, sedangkan ‘yuki’ berarti tujuan. Kata ‘san’ ditambahkan sebagai penghormatan kepada seseorang.

Adalah wanita Jepang yang berpindah ke Asia Timur atau Asia Tenggara di paruh kedua abad ke 19 untuk bekerja sebagai penghibur. Banyak dari para wanita ini dikatakan berasal dari Pulau Amakusa di Perfektur Kumamoto, yang banyak dihuni oleh komunitas Kristiani Jepang.

Para wanita yang bekerja di seberang lautan sebagai Karayuki-san kebanyakan berasal dari keluarga petani atau nelayan yang miskin, mediator yang mengatur keberangkatan mereka akan mencari gadis-gadis muda di usia tertentu di komunitas petani yang miskin dan membayar sejumlah uang bagi orangtua mereka, dan mengatakan kepada mereka bahwa anaknya akan bekerja sosial di negara lain' yang sesungguhnya mereka menjual kembali gadis-gadis tersebut ke industri prostitusi untuk mendapatkan uang.

Akhir era Meiji adalah era emas bagi para karayuki-san, dan gadis-gadis yang bekerja di luar negeri disebut lagi sebagai “Joshigun” atau “Army Girls”. Namun, dengan semakin terkenalnya Jepang di dunia internasional, para Joshigun tidak lagi dianggap membanggakan namun sebaliknya, merupakan hal yang memalukan . Pada tahun 1920, prostitusi mulai dianggap melanggar hukum dan berdampak pada penutupan rumah-rumah bordir Jepang di luar negeri. Banyak yang kembali ke Jepang, namun sebagian masih memilih untuk tetap tinggal.

Setelah Perang Pasifik, topik Karayuki-San kembali menjadi topik bahasan yang hangat oleh beberapa media setempat pada tahun 1972 . Tujuan utama karayuki-san meliputi China, Hong Kong, Filipina, Borneo (kalimantan kah?..), Thailand dan Indonesia . Mereka sering dikirim ke koloni Barat di Asia sebagai pemenuhan permintaan personel militer barat. Ada juga kasus yang menceritakan wanita-wanita jepang yang dikirm ke berbagai tempat seperti Siberia, Manchuria, Hawai, Amerika Utara (California), dan Africa…widih jauh juga sampe ke Siberia en Afrika

Dalam buku Japan and Singapore in the World Economy (1999), Shimizu Hiroshi dan Hirakawa Hitoshi menulis bahwa hubungan ekonomi Jepang dengan Singapura sudah ada sejak permulaan Restorasi Meiji (1868). Nah,ini berarti bahwa hubungan Jepang-Singapura sudah terbina lebih dari 120 tahun . Jadi tidak heran apabila hari ini ada 3.000-an perusahaan Jepang di Singapura; sekitar 700 di antaranya bergerak di bidang manufaktur.

Pada abad 19 itu, ‘tokoh’ penting yang membangun hubungan kedua negara adalah karayuki-san .

Mengapa mereka meninggalkan Jepang?

Gadis-gadis ini pergi meninggalkan Jepang karena tekanan ekonomi.

Pertanian dan teknologi Jepang meningkat setelah Restorasi Meiji . Seiring dengan peningkatan itu, angka kelahiran juga naik . Pada 1873 populasi Jepang berjumlah sekitar 35.2 juta. Populasinya berlipat ganda, yaitu menjadi 69.3 juta jiwa, pada 1935 .

Pabrik-pabrik tak mampu menampung ledakan penduduk
Untuk terus bertani, agaknya sulit karena harga sewa tanah pertanian juga semakin mahal, tentu saja . Jepang juga semakin terseret dalam Perang Dunia II dan devisa negaranya dikerahkan untuk mendukung perang. Efek dari semua ini mudah diduga: pengangguran. Penduduk Jepang pun jatuh miskin .

Untuk mempertahankan hidup, sebagian dari mereka meninggalkan Jepang.
Keluarga petani atau nelayan miskin merelakan anak-anak gadisnya bekerja di luar negeri.
Negara-negara yang menjadi tujuan utama kala itu adalah Singapura, Hawaii, Siberia, Australia, India atau Afrika.

Agen tenaga kerja menjamin bahwa gadis-gadis ini akan mendapatkan pekerjaan di sana. Namun sayangnya, agen seringkali menipu mereka: gadis-gadis ini dijadikan pekerja seks komersial.

Gadis-gadis yang berasal dari Nagasaki, Kumamoto, Yamaguchi, Fukuoka atau Saga ini tidak punya pilihan lain kecuali bekerja sesuai keinginan agen. Dari hasil kerja itu mereka mengirimkan uangnya kepada keluarganya di Jepang , atau membayar hutang kepada agen . Padahal, secara ekonomi pengiriman uang oleh karayuki-san ke Jepang sangatlah kecil.

Karayuki-san di Singapura

Di Singapura, karayuki-san dikenal dengan nama nan-yo-yuki, atau pekerja seks. Kenyataan yang cukup menarik adalah bahwa merekalah pendatang terbesar asal Jepang di Singapura pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.Di Singapura, lebih dari 633 karayuki-san beroperasi di 109 rumah bordil. Bahkan disinyalir ada lebih dari 1,000 rumah bordil yang buka tanpa ijin .

Sebagian besar rumah bordil ini terletak di persimpangan antara Victoria Street dengan Rochor Road. Sebagian lainnya berada di Sago Street, Malay Street, Malabar dan Hailam. Agaknya inilah yang membuat Singapura jadi terkenal dalam hal pelacuran pada masa itu.

Namun, praktik ini sebenarnya tidak sesuai dengan rencana kolonial Inggris. Inggris mendatangkan karayuki-san dari Jepang sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan seks para pedagang besar, bukan untuk khalayak umum.

Bersambung....

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Post a Comment

Breaking

 
Copyright © 2013 JPOP LINE
Design by FBTemplates | BTemplate3s